"SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI KUA KECAMATAN SUKAKARYA KABUPATEN BEKASI * SELAMAT HARI AMAL BAKTI KEMENTERIAN AGAMA KE-66. * MENIKAH DAN TERCATAT RESMI DI KUA LEBIH MENENTERAMKAN"

PNS...OH....PNS....

Manajemen Pegawai Negeri Sipil
Sesungguhnya, upaya-upaya pembinaan PNS di Indonesia secara lebih terarah
telah menjadi perhatian pemerintah sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari telah
direvisinya beberapa undang-undang yang mengatur pegawai negeri sipil selama
ini. Undang-Undang No. 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kepegawaian yang dinilai sudah tidak mampu lagi mengakomodir perubahanperubahan
yang dibutuhkan pada masa itu, diubah dengan Undang-Undang No. 8
Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-Undang No. 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian mengatur kedudukan, kewajiban, hak,
dan pembinaan Pegawai Negeri yang dilaksanakan berdasarkan sistem karir dan
sistem prestasi kerja.
Sehubungan dengan berbagai perubahan dalam sistem pemerintahan negara
RI yang berimplikasi terhadap manajemen PNS seperti antara lain otonomi
daerah, maka Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 diubah dengan UU No. 43
Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian yang tetapkan tanggal 30 September 1999. Dilihat dari usianya, UU
tentang kepegawaian ini baru diubah setelah 25 tahun berlaku. Sebuah masa yang
cukup panjang untuk mengakomodir perubahan-perubahan paradigma dan praktik
manajemen pegawai negeri sipil. Tidak semua pasal dalam UU No. 8 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang direvisi. Perubahan tersebut hanya
mencakup 26 pasal. Artinya, pasal-pasal yang tidak diubah – yang merupakan
produk 25 tahun yang lalu – tetap berlaku sebagai rujukan dalam manajemen PNS
sekarang ini.

Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 43
Tahun 1999 pasal 1 angka 8 adalah keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan
efisiensi, efektifitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban kepegawaian yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan
kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian.
Manajemen PNS ini diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna. Oleh
karena itu, dibutuhkan PNS yang profesional, bertanggungjawab, jujur dan adil
melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem
karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Lebih lanjut dalam pasal 13
ayat (1) UU tersebut dijelaskan bahwa kebijaksanaan manajemen PNS mencakup
penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan
kualitas sumber daya PNS, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan,
pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum.
Untuk mendukung implementasi UU tersebut di lapangan, telah diterbitkan
sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Dalam
Negeri, Keputusan dan Surat Edaran Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara, Keputusan dan Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara,
Keputusan dan Surat Edaran Kepala Lembaga Administrasi Negara dan lain-lain.
Namun, kondisi empirik di lapangan menemui banyak kendala sehingga banyak
dari aturan-aturan tersebut tidak dapat berjalan secara efektif. Kesulitan
menerapkan peraturan perundang-undangan di lapangan sangat mempengaruhi
upaya pengembangan PNS.
Sebagai contoh adalah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1979 Tentang
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Proses penilaian
pekerjaaan Pegawai Negeri Sipil yang lebih dikenal dengan sebutan DP3 (Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaaan) sangatlah subyektif. Unsur–unsur yang
dijadikan dasar penilaian sangat sumir apabila dikaitkan dengan pelaksanaan
pekerjaaan secara nyata sehari-hari karena setiap unsur tersebut sangat sulit diukur
keberhasilannya. Akibatnya, hasil penilaiannya tidak mampu membedakan antara
PNS yang berkinerja baik dengan mereka yang berkinerja sebaliknya. Demikian
juga halnya dengan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1979 Tentang Daftar Urut
Kepangkatan Pegawai Negeri Sipil. Peraturan ini tidak menitikberatkan pada
kinerja yang dihasilkan oleh Pegawai Negeri Sipil tetapi hanya didasarkan atas
kepangkatan, jabatan, dan masa kerja, padahal unsur-unsur ini tidak
mencerminkan kinerja yang dihasilkan.
Kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil bersifat regular. Artinya, setiap 4
tahun sekali PNS secara otomatis akan mengalami kenaikan pangkat terlepas
apakah yang bersangkutan mampu menunjukkan kinerja yang istimewa atau tidak
sama sekali. Kenaikan pangkat seperti ini sama sekali tidak terkait dengan kinerja
yang dihasilkan. Kesimpulannya, pola kenaikan pangkat yang diterapkan selama
ini sesungguhnya telah menyalahi aturan pasal 12 ayat (2) UU No. 43 Tahun 1999
yang menyatakan bahwa “… pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem
prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja”.
Sejumlah peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan tampak kurang sejalan
dengan amanat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Misalnya tidak sinkronnya antara substansi Peraturan Pemerintah dengan UU.
Disamping itu, belum terdapat suatu sistem manajemen PNS yang integrasi.
Artinya, masing-masing sub sistem tidak saling mendukung dan dan tidak
memiliki ikatan yang erat satu sama lain. Contohnya adalah bahwa UU No. 43
Tahun 1999 mengamanatkan pembinaan PNS didasarkan pada sistem prestasi
kerja dan sistem karier. Kenyataannya, pengukuran kinerja PNS yang sekarang
digunakan tidak relevan lagi dan sistem karier PSN itu sendiri belum pernah
terwujud. UU No. 43 Tahun 1999 juga mengamanatkan untuk membentuk Komisi
Kepegawaian Negara seperti ditegaskan adalam pasal 13 ayat (3). Namun, hingga
saat ini – sudah 5 tahun berlalu – komisi tersebut belum terbentuk tanpa diketahui
alasan yang jelas. Selanjutnya, terdapat sejumlah institusi yang secara bersamasama
menangani kebijakan dan manajemen PNS tanpa ada kejelasan ruang
lingkup kewenangan dan koordinasinya satu sama lain.
Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah juga memiliki implikasi terhadap manajemen PNS secara
nasional khususnya di daerah. Menurut UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, pengelolaan kepegawaian daerah sekurang-kurangnya meliputi
perencanaan, persyaratan, pengangkatan, penempatan, pendidikan dan pelatihan,
penggajian, pemberhentian, pensiun, pembinaan, kedudukan, hak, kewajiban,
tanggungjawab, larangan, sanksi, dan penghargaan.
Pengelolaan kepegawaian daerah merupakan satu kesatuan jaringan birokrasi
dalam kepegawaian nasional. Pasal 129 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pemerintah melaksanakan pembinaan
manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan
manajemen pegawai negeri sipil secara nasional. Pada ayat (2) dijelaskan bahwa
manajemen pegawai negeri sipil daerah meliputi penetapan formasi, pengadaan,
pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan,
kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi
dan pengendalian jumlah. Selanjutnya pada pasal 135 ayat (1) ditegaskan bahwa
pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah
dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam Negeri dan pada
tingkat daerah oleh gubernur. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan pun juga
menimbulkan sejumlah permasalahan seperti:
1. Pelaksanaan desentralisasi sejumlah urusan yang berkaitan dengan pegawai
negeri sipil di Indonesia masih menimbulkan sejumlah permasalahan seperti: a)
Berkurangnya belanja pembangunan akibat lebih dari 70% Dana Alokasi Umum
terserap untuk belanja pegawai sehingga perbaikan fasilitas maupun pelayanan
umum kurang mendapat perhatian. Bertambahnya belanja pegawai disebabkan
oleh: penggabungan/merger dari sejumlah instansi vertikal maupun instansi
daerah, tetapi downsizing ini bersifat semu karena eselonering jabatan dinaikkan;
adanya penggabungan tersebut maka tidak terdapat pegawai pusat yang berada di
daerah kota maupun kabupaten kecuali yang dipekerjakan ataupun diperbantukan,
sehinngga semua belanja pegawai di bebankan kepada pemerintah daerah
setempat; semangat romantisme kedaerahan yang sempit dengan membuka
sejumlah propinsi, kota maupun kabupaten yang baru dengan merekrut sejumlah
pegawai negeri sipil tanpa melihat adanya sejumlah daerah yang kelebihan PNS;
b) Merebaknya kasus KKN dan munculnya ‘raja-raja’ di sejumlah pemerintah
daerah. Hal ini disebabkan oleh: rekruitmen PNS baru yang dilakukan oleh
pemerintah daerah setempat tidak berdasarkan hasil tes tetapi berdasarkan
kedekatan dengan penguasa setempat; perencanaan penerimaan PNS didasarkan
atas keinginan penguasa daerah setempat bukan berdasarkan atas kebutuhan.
banyak kasus pengangkatan jabatan struktural yang dilakukan pemerintah daerah
yang tidak didasarkan pada kompetensi dan profesionalisme para calon pemangku
jabatan dan syarat-syarat yang ditentukan.
2. Belum terdapatnya sejumlah peraturan yang dapat mengimplementasikan
keinginan dari Undang-Undang No. 43 Tahun 2003 yaitu bahwa pembinaan
pegawai negeri sipil adalah perpaduan antara sitem prestasi kerja dan sistem karir.
Permasalahan ini dibuktikan dengan sejumlah peraturan yang telah diterbitkan
yaitu: a) Peraturan yang terkait dengan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaaan) masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang lama yaitu
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1979 Tentang Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Peraturan ini sangat jauh dari keinginan untuk
mengimplemntasikan pembinaan pegawai berdasarkan prestasi kerja; b) Peraturan
yang terkait dengan gaji PNS yaitu PP No. 7 Tahun 1977, pemberian gaji kepada
pegawai negeri sipil tidak terkait dengan prestasi kerja akan tetapi didasarkan atas
pangkat, sehingga penghasilan pegawai negeri sipil tidak ada keterkaitannya sama
sekali dengan prestasi kerja pegawai negeri sipil yang dihasilkannya; c) Peraturan
yang terkait dengan pengangkatan PNS Dalam Jabatan Struktural yaitu PP No. 12
Tahun 2002 lebih menitikberatkan pada persyaratan administratif, seperti pangkat
terendah, Daftar Urutan Kepangkatan (DUK), dan DP3. Prestasi kerja yang
dihasilkan oleh PNS secara tersurat tidak terdapat proses penilaian pengangkatan
PNS dalam jabatan struktural; d) Peraturan yang terkait dengan kenaikan pangkat
PNS yaitu PP No.12 Tahun 2000. Kenaikan pangkat PNS masih mengacu pada
aturan sebelumnya yaitu lebih menitikberatkan pada kenaikan pangkat regular
yaitu kenaikan pangkat yang didasarkan atas periode 4 tahunan sehingga tidak
akan memacu PNS untuk meningkatkan prestasi kerjanya dikarenakan tanpa
adanya prestasi kerja kenikan pangkatnya otomatis mengalami kenaikan; dan e)
Pengadaan PNS baru diatur berdasarkan PP No. 11 Tahun 2002. Pengadaan
pegawai baru ini lebih didasrkan atas ketersediaaan dana anggaran dari APBN,
bukan kebutuhan yang nyata. Kebutuhan pegawai per jenis keahlian sulit untuk
dihitung, sehingga kualifikasi pegawai yang akan direkrut akhirnya hanya
ditetapkan secara global. Akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara jenis keahlian
pegawai yang ada dengan keahlian yang dibutuhkan.
3. Belum optimalnya Komisi Kepegawaian Negara sehingga manajemen PNS
yang dilaksanakan di Indonesia masih bersifat ‘administrastif’ belum menyentuh
substansi pengelolaan manajemen PNS secara keseluruhan. Hal ini dibuktikan
dengan belum terbentuknya sistem, prosedur maupun kelembagaaannya yang
secara utuh dan bertanggungjawab sepebuhnya menangani manajemen PNS.
4.Tidak terdapatnya check and balance yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap kinerja PNS sehingga sangat sukar untuk mewujudkan pemerintahan
yang akuntabel. Yang terjadi selama ini adalah kontrol terhadap birokrasi
pemerintah masih dilakukan oleh pemerintah, untuk pemerintah dan dari
pemerintah.
PERBANDINGAN MANAJEMEN PNS DENGAN SWASTA
Sistem kerja yang kurang jelas serta kurangnya pengawasan, menjadi pemicu munculnya pegawai negeri sipil yang nakal. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem yang ada di instansi-instansi swasta.
Menurut pengamat kepegawaian Universitas Indonesia Amy Yayuk Sri Rahayu, sistem yang mendukung seperti reward and punishment, tidak begitu berjalan di instansi pemerintah.
“Sebetulnya dari segi hukum aturan yang mengatur tidak begitu jelas. Seperti halnya pegawasi swasta yang aturannya jelas. Misalnya mereka tidak hadir, implikasinya pada remunerasi atau insentif yang akan mereka terima,” ujar Amy saat berbincang dengan okezone, Selasa (22/6/2010).
Amy mencontohkan jika PNS membolos, tidak ada sanksi jelas yang diterima. Bahkan Amy menyebutkan jarang PNS yang dipecat.
“Aturan yang jalan sangat longgar. Kalau bolos apa sih sanksi yang harus diterima. Bahkan PNS yang dipecat, jarang sekali,” tutur dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UI ini.
Amy juga menyatakan banyak PNS yang ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan kemampuannya, sehingga kinerja yang diharapkan tidak tercapai.
“Banyak PNS tidak didasarkan pada kemampuan dan performence. Kinerja dalam pegawai negeri itu diukur DP3 (Daftar Penilaian Pegawai oleh Pimpinan). Indikator yang diatur itu kejujuran, loyalaitas, dan kepemimpinan yang diukur dengan angka-angka, misalnya poin 9,5. Padahal itu tidak ada ukuran yang pasnya. Beda kalau di swasta, misalnnya saya menyelesaikan surat-menyurat. Berapa surat yang saya selesaikan hari ini, akan ada penilaian yang jelas, sementara PNS itu tidak seperti itu. Itu sebabnya banyak terjadi penyimpangan tugas-tugas,” papar Amy.
Karena itu, Amy menegaskan bahwa aturan-aturan dalam PNS harus dielaborasi atau ditinjau kembali.
“Menurut saya aturannya harus dielaborasi, ditunjau kembali. PNS mau didisiplinkan, pemerintah harus mau mendisiplinkan,” tegasnya.
Upaya memperbaiki kesejahteraan pegawai juga memperhatikan kinerja yang diberikan. Ini bisa diberlakukan saat kenaikan pangkat setiap 4 tahun sekali.
“Ini mengacu aturan yang berbasis kinerja. Ada standard yang jelas untuk mengukur performance,” paparnya.
Amy kembali mencontohkan, sebagai dosen dia juga mendapat penilaian dari mahasiswa.
“Jika IDOM (penilaian mahasiswa), skornya di bawah 3 maka saya akan mendapat sanksi dari atasan karena nilainya minimal 3 untuk dosen. Kalau saya dapat skor di atas 3, maka saya akan mendapat penilaian yang baik,” katanya.
Meski demikian, Amy mengaku memahami kondisi pemerintah yang berupaya mengurang pengangguran dengan merekrut pegawai.
“Mungkin secara psikologis, salah satu jalan mengurangi pengangguran. Lulusan universitas tidak tertampung di privat sector. Satu-satunya cara menjadi PNS. Tapi kriteria yang diminta tidak bagus, IPK minimal 2,75,” ungkapnya.
Namun dia menandaskan, hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa perekrutan PNS, tidak memperhatikan sisi kualitas. Karena itu, pemerintah harus memperhatikan mekanisme untuk memperbaiki sistem kepegawaian.
Disarikan dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar